![]() |
Pembentukan Provinsi Natuna-Anambas, Harapan Baru atau Cermin Lama Pemekaran Daerah? |
Anambas, antena.id -- Dari ujung utara Indonesia, di mana angin laut membawa kabar dari Laut China Selatan, berharap sampai ke istana, masyarakat Natuna dan Anambas menyimpan harapan yang tak kunjung padam, menjadi provinsi sendiri. Harapan itu bukan sekedar soal kebanggaan administratif, tapi tentang keinginan hidup yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan, lebih cepat mendapat pelayanan publik, dan lebih kuat berdiri di tengah pusaran geopolitik regional.
Namun, seperti debur ombak yang terus berulang, pertanyaan itu kembali menghantam ruang publik. Apakah pemekaran Provinsi Natuna-Anambas masih relevan di tengah arus sentralisasi yang semakin kuat?
Euforia yang Menyisakan Tanda Tanya
Sejak reformasi 1998, semangat desentralisasi menjadi napas baru Indonesia. Daerah-daerah yang dulunya terpinggirkan, kini diberi kewenangan lebih untuk mengurus rumah tangganya sendiri. Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 menjadi tonggak sejarah, disusul oleh Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah, yang membawa euforia otonomi daerah ke puncaknya. Kabupaten dan kota tumbuh sebagai motor pembangunan lokal, dan pemekaran wilayah pun menjadi fenomena nasional.
Natuna dan Anambas, dua kabupaten yang berada dalam wilayah Pemerintahan Provinsi Kepulauan Riau yang letaknya terpencil namun strategis. Belakangan dua Kabupaten ini terus berupaya membentuk kabupaten dan masuk dalam wacana pemekaran provinsi. Tapi seiring waktu, keraguan mulai menyelinap. Korupsi kepala daerah, tumpang tindih perizinan, dan lemahnya pengawasan menjadi sisi gelap dari otonomi yang sempat dielu-elukan.
Puncaknya, pada tahun 2014, negara kembali menarik kendali. Undang-Undang nomor 23 Tahun 2014 menggiring arah kebijakan ke koridor sentralisasi. Banyak kewenangan strategis kembali ditarik ke provinsi bahkan pusat. Sejauh ini, elit politik daerah gagal menjaga kepercayaan yang diberikan rakyat. Dalam realitas baru ini, apakah masih ada ruang bagi daerah seperti Natuna dan Anambas untuk berdiri sebagai provinsi sendiri?
Di Ujung Negeri, Harapan Itu Menyala
Seorang nelayan muda di Pulau Anambas, tak banyak paham soal undang-undang. Tapi dia tahu satu hal. “Kalau ada kantor provinsi di sini, urusan kami nggak perlu jauh-jauh ke Tanjungpinang.” Kalimat sederhana itu menggambarkan kerinduan akan pemerintahan yang dekat dan tanggap.
Memang, argumen geografis dan demografis mendukung pemekaran. Natuna-Anambas terletak jauh dari ibu kota provinsi dan memiliki posisi strategis di perbatasan laut. Logika administratif menyatakan bahwa provinsi yang lebih dekat bisa mempercepat pembangunan, memperkuat pertahanan, dan memperbaiki layanan publik.
Namun dalam praktik, status baru tidak selalu membawa perubahan nyata. Banyak provinsi hasil pemekaran justru menghadapi ketergantungan fiskal yang tinggi, kekurangan SDM, dan infrastruktur yang belum memadai.
Politik, Uang, dan Kekuasaan
Tak bisa dipungkiri, di balik wacana pemekaran, selalu ada aroma kepentingan. Para elite lokal kerap melihat pemekaran sebagai jalan pintas ke tampuk kekuasaan baru. Gubernur baru, DPRD baru, dan tentu saja... anggaran baru.
Sayangnya, dalam sistem fiskal yang terpusat, uang itu tak sepenuhnya dalam kendali daerah. DAU, DBH, dan DAK masih dikendalikan dari Jakarta. Maka muncul paradoks, daerah baru lahir, tapi tetap menyusu ke pusat. Provinsi administratif, bukan provinsi mandiri.
Adakah Jalan Lain Selain Pemekaran?
Para akademisi dan aktivis tata kelola pemerintahan mulai menyerukan pendekatan baru, bukan memperbanyak provinsi, tapi memperkuat yang sudah ada. Reformasi birokrasi, peningkatan kapasitas SDM, dan penataan ulang hubungan pusat-daerah menjadi kata kunci. Sebab otonomi sejati bukan soal peta, tapi soal kewenangan dan kemampuan menjalankan pemerintahan dengan efektif.
“Yang kita butuhkan bukan lebih banyak provinsi, tapi lebih banyak keadilan dalam pembangunan,” ujar seorang rekan saat mengikuti perbincangan di sebuah kedai kopi dekat dermaga Tarempa.
Maka, pertanyaan tentang pemekaran Natuna-Anambas tak bisa dijawab dengan ya atau tidak semata. Ia menuntut perenungan yang lebih dalam, apakah kita benar-benar ingin menghadirkan pemerintahan yang lebih dekat dan tanggap, atau hanya sekedar menciptakan ruang kekuasaan baru?
Pemekaran bisa menjadi jawaban jika diikuti dengan reformasi struktural. Tapi tanpa itu, ia hanya akan menjadi ilusi administratif. Untuk masyarakat di perbatasan, yang mereka dambakan bukan sekadar provinsi baru, tapi kehidupan yang lebih baik, layanan yang adil, dan masa depan yang lebih pasti.
Dan untuk itu, kita perlu lebih dari sekedar memekarkan wilayah. Kita perlu membangun kepercayaan dan kapasitas dari pusat ke daerah. Serta bukan sekedar mengukur jarak rentang kendali geografis dari Peta akan tetapi mencoba memahami serta menyentuh relung hati rakyat.
Penulis: FITRAHADI, Pemred antena.id.